Mahayogi Markandeya adalah seorang
Mahayogi yang berasal dari India. Beliau datang ke bumi Nusantara pada abad
ke-2 dan bermukim di daerah pegunungan gunung Rawung di Jawa Timur. Mahayogi
Markandeya dikenal sebagai seorang Mahayogi yang memiliki banyak pengikut di
Jawa Timur. Sekitar tahun 158 Masehi, Mahayogi Markendeya melakukan Tapa Yoga
di Gunung Rawung. Tak berselang lama dalam pertapaannya beliau mendapatkan
wahyu berupa suara gaib dan sinar terang berderang yang terlihat di arah Timur.
Terlihatlah sederetan gunung-gunung
dari barat ke timur yang berjejer berwarna hijau nan subur. Suara gaib itu
mengarahkan agar sang Yogi datang bersama pengikutnya ke pulau yang disebut
panjang (Dawa) karena berderet gunung-gunung yang memanjang dari barat ke
timur, untuk membuka lahan baru. Mahayogi Markandeya dengan segera mengumumkan
kepada para pengikutnya, maka sejumlah kurang lebih 800 orang bersedia untuk
hijrah ke Pulau Dawa atas saran Mahayogi untuk membuka lahan baru. Setelah perlengkapan
dan perbekalan dirasakan telah siap maka berangkatlah rombongan Mahayogi
Markandeya menuju pulau Dawa, rombongan ini mengalami banyak musibah,
binatang-binatang buas macan, ular dan binatang buas lainnya banyak yang
menerkam pengikut-pengikut Mahayogi Markandeya saat merabas hutan. Selain itu
banyak pula pengikut-pengikut Mahayogi yang terserang wabah penyakit hingga
banyak yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Melihat kenyataan ini, Mahayogi
sangat sedih dan kecewa, pasti ada sesuatu yang kurang beres dalam misi ini.
Akhirnya Mahayogi memutuskan untuk kembali ke Gunung Rawung bersama
pengikut-pengikutnya yang masih tersisa. Sesampainya di Gunung Rawung Jawa
Timur, Mahayogi Markandeya bertapa kembali untuk memohon petunjuk kepada hyang kuasa.
Setelah selesai bertapa beliau kembali memberitahukan kepada
pengikut-pengikutnya tentang rencana untuk kembali ke pulau Dawa. Kali ini
beliau mengikutsertakan para Yogi lainnya. Untuk keberangkatan yang kedua
kalinya, telah terkumpul orang-orang yang sebagian besar dari desa Aga yang
berjumlah kurang lebih 400 orang lengkap dengan alat pertanian termasuk
sejumlah bibit sarwapala yang dibawa untuk pembukaan lahan baru. Setibanya di
pulau Dawa dan sebelum merabas hutan, diadakan upacara yang dipimpin oleh
Mahayogi Markandeya beserta para Panditha, Rsi dan para Yogi lainnya. Upacara
ini memohon kepada Tuhan dan Ibu Pertiwi agar diperkenankan untuk mengolah
lahan yang akan dijadikan pertanian. Tak lupa pula dimohonkan agar wabah
penyakit dan binatang-binatang buas tidak menjadi kendala untuk misi ini.
Setelah upacara yang dilakukan oleh
Markandeya bersama orang-orang Desa Aga selesai, maka dilanjutkan dengan
prosesi penanaman sarana yang disebut Pancadatu (liam jens logam, yaitu: perak,
tembaga, emas, besi, dan timah, disertai pula permata mirah). Sebagai simbol
kelima unsur elemen agar pengolahan lahan baru ini berjalan lancar. Mahayogi
Markandeya memberi nama “Basuki” pada penanaman Pancadatu tersebut, karena
Basuki memiliki arti Rahayu atau selamat. Akhirnya saat ini nama Basuki itu
dikenal dengan nama Desa Besakih di lereng Gunung Agung. Disaat Mahayogi
membagi-bagikan sawah dan ladang kepada para pengikutnya, maka tempat tersebut
diberi nama “Desa Puwakan” (puwakan=pembagian).
Di tempat dimana Mahayogi beryoga
disebut Desa Payogan, Campuan, Ubud. Selanjutnya di Desa Taro (Taro = Taru,
Taru = Kayu, Kayu berarti Kayun, Kayun = keinginan, dalam hal ini berarti
memiliki keinginan suci dan berpikiran suci) yang artinya sang Yogi mengajarkan
ajaran dan pikiran suci. Selanjutnya orang desa Aga disebut Bali Aga yang
berarti orang-orang dari desa Aga yang melakukan wali = kurban suci. Semenjak
itu pulau Dawa dikenal dengan nama pulau Wali/Bali.
Mahayogi Markandeya pun mengajarkan
sistem bertani yang dikenal dengan sistem “subak” dan mengajarkan sistem
bermasyarakat yaitu adat Banjar, Pekasehan, dan tugas serta kewajiban
masing-masing. di tempat dimana beliau mengajarkan agama, akhirnya dikenal
dengan sebutan “Desa Payangan” (Payangan berasal dari kata Parahyangan yang
berarti para dewata). Di kemudian hari, dimana tempat tinggal beliau, didirikan
pura Taro, di desa Besakih juga didirikan Pura Besakih.
Demikian kisah Mahayogi Markandeya
di tahun 158 Masehi yang membawa para pengkutnya dari Gunung Rawung dan desa
Aga, Jawa Timur ke pulau Dawa untuk membuka lahan baru hingga pulau ini dikenal
dengan nama pulau Bali yang terkenal dengan pura Besakihnya dimana beliau
menanamkan pancadatu untuk memulai merabas hutan yang nantinya menjadi lahan
pertanian dan perladangan untuk mengisi kehidupan pada pulau ini. Karena pulau
ini telah lama kosong semenjak penduduk asli Bali yang hidup di zaman raja Bali
yang pernah bertemu dengan Mahayogi cebol yang bernama Wamana, yang mana atas
permintaan sang Wamana meminta 3 langkah kaki sebagai wilayahnya, akhirnya raja
Bali beserta rakyatnya harus menuju ke alam bawah yang disebut patala. Pada zaman Ramayana, Sugriwa
pernah mengirim pasukannya untuk mencari Dewi Sitha hingga ke pulau “Narikel”
yang artinya kepulauan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa (Sunda Kelapa =
Sumatra, Jawa, Madura, dan Bali). Yang ditemukan hanyalah saksi-saksi bisu di
masa raja Bali.
Namun berkat kedatangan Mahayogi
Markandeya beserta pengikutnya, maka pulau ini hidup kembali dan dikenal dengan
nama pulau Bali.
Sumber: Majalah Yoga
for Health a voice of Bali edisi 11- Desember 2008
Posted By:
Rudiarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar